Astaghfirullah, 63% Remaja Indonesia Berbuat Zina
إِذَا ظَهَرَ الزِّنَا وَالرِّبَا فِي قَرْيَةٍ ، فَقَدْ أَحَلُّوا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Apabila zina dan riba telah nampak di suatu kampong, maka sungguh mereka telah menghalalkan diri-diri mereka (ditimpa) adzab Allah ‘Azza wa Jalla. (HR At-Thabrani, Al-Hakim, Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman dari Ibnu Abbas. Hadits ini dishahihkan oleh Al-Al-Bani dalam Shahihul Jami’ nomor 679, dan dishahihkan Adz-Dzahabi dalam At-Talkhish).
Bicara tentang perzinaan sebenarnya sangat risih. Bahkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ada wanita yang mengaku dirinya berzina dan minta dihukum rajam (dilempari batu kerikil sampai mati) pun tidak langsung menyahutnya. Baru setelah wanita itu berkali-kali mengemukakan pengakuannya dan minta dihukum, barulah ditanya secara teliti, kemudian disuruh pulang dan mengasuh anaknya dulu sampai waktu yang ditentukan. Nanti agar kembali untuk mendapatkan hukuman yang dia minta itu.
Kenapa di sini justru membicarakan tentang zina?
Karena sudah ada penelitian dan hasilnya dikemukakan oleh Direktur Remaja dan Perlindungan Hak-Hak Reproduksi Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional Pusat (BKKBN) M Masri Muadz bahwa 63% remaja usia SMP SMA di 33 propinsi di Indonesia telah berzina.
Penelitian di Bandung menunjukkan remajanya 56% telah berzina. Ini sangat memprihatinkan. Betapa rusaknya moral bangsa Indonesia ini, dan telah merambah sampai ke anak-anak SMP sudah berbuat mesum, bahkan sebagian jadi pelacur beramai-ramai. Itu di antaranya karena mengejar hidup enak sesuai nafsu yang istilahnya hedonisme. Dan juga karena tontonan porno-porno ada di mana-mana, di televise dan lainnya.
Siapa yang harus bertanggung jawab?
Ya tentu saja yang berwenang di negeri ini. Mereka lah penanggung jawab pertama atas rusaknya bangsa ini.
Lantaran penelitian itu telah diumumkan, dan berita-berita pun telah tersebar, maka di sini hanya dirangkum berbagai peristiwa yang sangat memalukan bahkan terancam adzab Allah ini dituturkan di sini. Agar manusia yang masih tersisa kesadarannya mau kembali ke jalan yang benar, insya Allah!
Dalam kaitan dengan seks, setidaknya ada dua hal yang terjadi pada diri Remaja Indonesia. Pertama, seks bebas (berzina), yaitu mereka yang berusia remaja melakukan aktivitas seks bebas (berzina) dengan teman sebayanya, atau menjadi pengunjung tempat pelacuran untuk madon (berzina dengan pelacur). Kedua, pelacuran yang dilakukan anak-anak remaja, terutama remaja putri. Pelacuran ini dapat terjadi karena paksaan (ditipu germo dengan janji mendapatkan pekerjaan yang layak), atau bisa juga karena kesadaran.
Pelacur remaja yang terjun ke dunia prostitusi/ pelacuran dengan kesadaran, bukan paksaan, antara lain karena himpitan kemiskinan. Ada juga yang karena didorong oleh keinginan (bukan kebutuhan) menjalani kehidupan yang hedonistis (ingin punya handphone yang mahal, baju-baju yang bagus, dan sebagainya).
Zina Di Kalangan Remaja
Menurut hasil survey yang dilakukan sebuah lembaga di tahun 2008, diperoleh data sekitar 63% remaja mengaku sudah melakukan hubungan seks bebas (berzina) sebelum nikah. Responden survey meliputi remaja SMP dan SMA di 33 provinsi di Indonesia. Tiga tahun sebelumnya (2005), sebuah survey yang diselenggarakan sebuah perusahaan kondom, mengungkapkan data sekitar 40-45% remaja berusia antar 14-24 tahun menyatakan bahwa mereka telah berhubungan seks bebas (berzina) di luar pernikahan. Survey tersebut dilaksanakan di hampir semua kota besar di Indonesia dari Sabang sampai Merauke. (lihat tulisan berjudul Konser Musik, Zina dan Kerusuhan, December …)
Bila data survey tersebut reliable dan valid, maka dari dua data di atas menunjukkan adanya kenaikan yang cukup signifikan. Dari 40-45 persen di tahun 2005, menjadi 63% di tahun 2008. Artinya, ada kenaikan sekitar hampir 30 persen dalam jangka waktu ‘hanya’ tiga tahun.
Sebuah survey yang melibatkan rata-rata 100 responden remaja usia 15-24 tahun yang ada di setiap kecamatan di Kota Bandung, pernah dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan 25 Messenger Jawa Barat, selama Juni 2008 lalu. Hasilnya, sekitar 56% remaja Kota Bandung sudah pernah berhubungan seks bebas (berzina) di luar nikah, dengan pacar, teman, dan pelacur. Perilaku remaja yang mengadopsi seks bebas seperti itu paling banyak dipengaruhi oleh tontonan film porno, termasuk dari internet dan melalui telepon seluler.
Perilaku seks bebas di kalangan remaja tidak hanya dipraktekkan remaja kota besar seperti Jakarta dan Bandung, tetapi juga di kota-kota lain yang bukan tergolong kota metropolitan. Misalnya, sebagaimana dilakukan oleh seorang siswi salah satu SMK di Praya, Kabupaten Lombok Tengah, NTB.
Siswi berusia 17 tahun itu, untuk bisa melakukan seks bebas (berzina) dengan pacarnya yang berusia 21 tahun, harus pergi ke kota yang agak besar (Mataram), di sana mereka menyewa sebuah kamar di salah satu hotel kelas melati. Seks bebas yang dilakukannya itu berlangsung siang-siang sekitar jam 11:00 waktu setempat. Keduanya terjaring razia yang dilakukan aparat Polsek Mataram bersama Satpol PP Kota Mataram dan aparat kecamatan setempat. Siswi SMK yang masih berusia 17 tahun itu, mengaku sedang menjalani liburan pasca ujian tengah semester. (http://kompas.co.id/read/xml/2008/12/16/13390917/siang-siang.ngamar.siswi.smk.digaruk)
Di Batam, tiga siswi sebuah SMP Negeri Tiban, Sekupang, melakukan pesta seks di salah satu hotel. Dua diantaranya merupakan pasangan yang baru saja bersua. Namun perjumpaan yang baru sesaat itu tidak menyurutkan keinginan mereka melakukan seks bebas. Sebagaimana diberitakan Pos Metro edisi Selasa, 21 Oktober 2008, di bawah tajuk Siswi SMP Pesta Seks di Hotel.
Cerita bermula pada hari Kamis tanggal 16 Oktober 2008 sore, pemuda Hf (17) ketika itu mengadakan janji bertemu dengan pacarnya Intan (siswi SMP berusia 14 tahun), di Sungai Harapan. Hf tak sendiri bertemu Intan. Dua teman Hf yang lain, Rs (18) dan Dd (18), diajak serta. Di pihak Intan, ia pun membawa serta dua rekan wanitanya, sebut saja Puput dan Indah (kedua siswi ini juga disamarkan namanya).
Setelah masing-masing berkenalan (kecuali Hf dan Intan yang sudah kenal dan mengaku berpacaran), layaknya pasangan remaja yang lain (yang sebenarnya itu adalah haram menurut Islam), terlibat obrolan apa saja. Hingga larut malam. Puas menghabiskan hari, tiga sejoli ini makin kepincut dengan pasangannya masing-masing. Hf sibuk bermesraan dengan Intan. Rs bermanja ria dengan Puput. Sedangkan Dd dengan Indah. Ketiga pasangan, bahkan sudah bersama selama dua hari.
Hari Jum’at, tiga pasangan tersebut runtang-runtung tak tentu rimba dengan angkutan umum, antara lain jalan-jalan ke kawasan Jodoh, Batam Centre, Sekupang. Pukul 12 malam, ketiga pasangan remaja itupun melanjutkan acara dengan menginap di sebuah hotel, dan melakukan pesta seks. Hf melakukan persetubuhan dengan Intan. Ketika Hf dan Intan masuk kamar mandi, Rs pun membangunkan Puput untuk melakukan hal serupa. Sedangkan Dd dan Indah, mereka ‘hanya’ berciuman. Dalam ajaran Islam, meski ‘hanya’ berciman, sudah tergolong perzinaan, yaitu zina anggota badan, seperti zina mata, zina tangan dan sebagainya.
Beberapa bulan sebelumnya, kasus yang sama gilanya terjadi antara remaja belasan tahun, juga di Sekupang, Batam. Dila (16) berpacaran dengan Teguh (19), namun tidak direstui kedua orangtua Dila. Meski pendekatan ekstra sudah dilakukan Teguh, namun hasilnya tetap nihil. Karena menemui jalan buntu, akhirnya Teguh nekat meminta pengorbanan cinta dari Dila. Sebaliknya, Dila rela menyerahkan mahkotanya/ kehormatannya untuk pujaan hatinya, sebagai bukti pengorbanan (Pos Metro edisi Minggu, 26 Oktober 2008).
Peristiwa ‘pengorbanan’ itu pertama kali terjadi di bulan Agustus 2008. Kemudian berlanjut di hari-hari lain. Dila dan Teguh beranggapan, setelah melakukan hubungan badan (berzina), orangtua Dila akan luluh melihat anaknya tak lagi perawan. Nyatanya, kemurkaan orang tua Dila malah kian menjadi. Teguh pun dilaporkan ke polisi dengan tuduhan membawa kabur dan menggauli (menzinai) anak di bawah umur. Kalau saja pasangan yang sedang kemasukan godaan setan itu diberi kondom gratis (seperti yang dipraktekkan oleh para pengaku penanggulang AIDS), bukan penjara, niscaya aktivitas seks bebas mereka akan semakin jauh tersesat.
Kemungkinan remaja putri Dila terlalu banyak nonton sinetron percintaan yang kandungan materinya banyak ‘mengajak’ remaja melakukan seks bebas. Atau Dila kurang mendapat arahan dari orangtua, kurang mendapat bekal agama, sehingga ia tidak bisa membedakan rasa cinta yang datang dari Allah dengan rasa cinta yang datang dari Syaithon. Rasa cinta yang datang dari Syaithon, cenderung mengarah kepada perbuatan yang dilarang Allah. Sebaliknya, rasa cinta yang dari Allah, cenderung mengarah kepada perbuatan yang dibenci syaithon.
Pelacur Remaja
Belum reda keterkejutan kita terhadap data dan fakta di atas, masih harus ditambah lagi dengan ditemukannya fakta tentang sejumlah siswi SMP di Jakarta yang menjadi pelacur, bukan karena paksaan atau himpitan ekonomi, tetapi semata-mata dalam rangka memenuhi tuntutan hedonisme.
Sebagaimana diungkapkan Kompas Minggu edisi 28 Desember 2008, tentang kasus 22 siswi SMP negeri di kawasan Tambora, Jakarta Barat, yang menjalani kehidupan sebagai pelacur di luar jam sekolah. Sebelum menjalani kehidupan sebagai pelacur, mereka mengawalinya dengan menjual kegadisannya seharga Rp 2 juta kepada pria pelaku zina. Selanjutnya, mereka meneruskannya menjadi pelacur dengan tarif setiap kencan Rp 300.000, di bawah koordinasi seorang mucikari/ germo yang biasa nongkrong di Taman Hiburan Rakyat Lokasari, Tamansari, Jakarta Barat.
Kasus ini terungkap secara tidak sengaja. Salah seorang guru di sekolah tersebut melihat salah seorang siswi kelas 3 memiliki handphone seharga di atas Rp 4 juta. Ia lantas menaruh curiga. Kemudian, sang guru memanggil siswi tersebut dan memeriksa telepon selulernya. Di ponsel itu sang guru mendapati beberapa pesan singkat yang isinya berupa ajakan untuk berkencan. Dari satu siswi kemudian informasi berkembang sehingga diperoleh beberapa nama siswi lainnya.
Sang guru tidak begitu saja percaya, ia kemudian menyamar sebagai pemesan, dan mengajak salah satu siswi lainnya untuk bertemu dan berkencan. Tanpa diduga, siswi yang dipesannya itu datang ke tempat yang dijanjikan. Guru yang lain ada yang ikut dalam sebuah razia yang diadakan Satpol PP DKI. Dari hasil razia, beberapa pelacur yang tertangkap ternyata siswi SMP-nya.
Para siswi itu mengaku nekat menjalani kehidupan sebagai pelacur karena silau oleh ‘keberhasilan’ seorang rekan mereka yang telah lebih dulu jadi pelacur, sehingga memiliki banyak uang dan barang-barang berharga mahal.
Perilaku remaja siswi setingkat SMP yang menjalankan kehidupan sebagai pelacur, juga terjadi di Bandung. Sebagaimana diberitakan Tribun Jabar edisi Sabtu, 30 Agustus 2008: Satpol PP Kota Bandung, dalam rangka menyambut bulan Ramadhan menertibkan wanita malam di jalan-jalan protokol Kota Bandung, Jumat (29/8) dini hari. Berhasil dijaring 42 pelacur, salah satu di antaranya siswi SMP swasta kelas dua. Dengan alasan kemanusian, siswi SMP itu dilepaskan, setelah dinasehati. Ia menjadi pelacur karena butuh uang untuk biaya sekolah dan makan karena kedua orangtuanya tidak mampu membiayai. (http://72.14.235.132/search?q=cache:gaEuCybkccgJ:www.lodaya.web.id/%3Fp%3D1364+Siswi+SMP+Jajakan+Diri&hl=id&gl=id&strip=1)
Kalau benar ia menjadi pelacur semata-mata untuk biaya sekolah dan makan, bukan karena mengikuti gaya hidup yang hedonistis, dan benar-benar karena kedua oangtuanya tidak mampu, maka apa yang ia lakukan menjadi tanggung jawab masyarakat di sekitarnya, dan menjadi tanggung jawab pimpinan (umara, pemerintah) di lingkungan terdekatnya.
Sejauh ini penelitian tentang remaja putri yang menjalani kehidupan sebagai pelacur, pernah dilakukan di Medan oleh Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA), pada September hingga November 2007, dengan mewawancarai secara mendalam sejumlah 50 responden, di antaranya terdiri dari 14 siswi SMP dan 27 berstatus siswi SMA/SMK. (http://www.eska.or.id/news/detail/?id=27)
Dari pengakuan para responden, di sekolah mereka terdapat sejumlah teman sebaya yang juga terlibat dalam pelacuran, yang jumlahnya bervariasi antara 30 hingga 60 orang. Salah seorang responden yang masih duduk di kelas 3 SMP menuturkan, di kelasnya saja ada 15 teman sebayanya yang sudah biasa berkencan dengan pria dewasa, dengan kisaran usia 30-50 tahun. Aktivitas pelacuran itu dipraktekkan pada siang hari, kebanyakan antara jam 3 hingga jam 6 sore. Namun ada juga yang melakukannya pada malam hari.
Menurut Ahmad Sofian (Direktur PKPA), “Kami menemukan modus baru dalam bisnis seks ini, yaitu pulang sekolah tidak pulang ke rumah tetapi dibawa ke hotel. Untuk meyakinkan orangtua, teman-temannya ikut meminta izin dengan dalih mengajak renang atau jalan-jalan, sehingga orangtua anak tidak curiga.”
Para pelacur muda ini oleh orangtuanya sampai saat ini dikenal sebagai anak yang rajin sekolah, anak rumahan dan penurut dengan nasihat orangtua. Dengan demikian bukan faktor internal yang mendorong mereka menjalani kehidupan sebagai pelacur, tetapi faktor eksternal, yaitu:
Sebagian besar dari mereka adalah gadis-gadis yang sudah berpacaran kelewat batas atau dikecewakan pacar (18 kasus).
Mereka yang terjerat konsumerisme, ingin mengikuti gaya hidup mewah seperti punya handphone, baju bagus dan sebagainya (8 kasus).
Karena diajak teman (24 kasus).
Menggunakan uang sekolah (6 kasus).
Sedangkan yang menjadi faktor pemicu adalah karena keadaan mereka sudah tidak perawan lagi.
Kasus Tambora (Jakarta Barat) sebagaimana diungkapkan Wartakota dan Kompas di atas, nampaknya sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan KPKA. Sebagaimana di Tambora, pelacur muda ini mengawali dengan menjual keperawanannya dengan harga Rp 2 juta hingga Rp 5 juta. Selanjutnya mereka mendapat bayaran antara Rp 200 ribu hingga Rp 800 ribu per kencan.
Kasus yang hampir serupa juga terjadi di Bogor, Jawa Barat, sebagaimana diberitakan harian SIB edisi 14 Desember 2008. (http://hariansib.com/2008/12/14/perawan-anak-sma-rp-15-juta/). Akibat bekapan kemiskinan dan keterbatasan ekonomi orangtua untuk melanjutkan sekolah, lima siswi SMA di Kota Bogor terpaksa masuk ke dalam sindikat pelacuran yang dikendalikan seorang napi dari balik jeruji penjara. Mereka sudah menggeluti dunia pelacuran sejak SMP. Tarifnya jauh di atas pelacur cilik Tambora dan Medan. Sekali kencan, mereka dibayar Rp 5 juta. Bila masih perawan, dihargai Rp 15 juta.
Salah satu pelacur remaja ini (Ls, 18 tahun) mengaku menjadi wanita panggilan lantaran ekonomi keluarganya yang pas-pasan. Ayahnya cuma seorang petani penggarap, sehingga tidak bisa membiayai keinginan Ls melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Dia tergiur menjadi pelacur remaja setelah melihat temannya yang bergaya hidup mewah. “Waktu itu saya diajak sama dia untuk kerja sampingan. Eh nggak tahunya kerja seperti ini,” katanya.
Di Surabaya April 2008 lalu pernah diungkap kasus pelacuran yang dilakoni pelajar SMP dan SMA. Terungkapnya kasus pelacur pelajar ini setelah anggota Reskoba Idik II Polwiltabes Surabaya menangkap seorang pelacur pelajar berinisial IWP di sebuah hotel. Dari pengakuan IWP, akhirnya terungkap jaringan bisnis pelacuran yang melibatkan pelajar SMP dan SMA di Surabaya. Para pelacur pelajar itu dihargai mulai Rp 500.000 hingga Rp 1,5 juta. Tersangka IWP sendiri saat pertama naik kelas III SMA kegadisannya dijual dengan harga Rp 10 juta kepada seseorang di Bali. Bahkan IWP pernah melayani tamunya yang ada di Makassar dengan imbalan Rp 2 juta. (http://www.surya.co.id/web/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=42126)
Penelitian di Medan (2007) yang didukung oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan, akan sangat disambut baik oleh rakyat Indonesia bila hal serupa dapat dilakukan di berbagai provinsi yang ada, terutama provinsi-provinsi rawan seperti DKI Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, DI Yogyakarta, dan sebagainya. Bukan mustahil, dari hasil penelitian itu kelak, akan membuat mata kita terbelalak. Namun yang paling penting, bukan bagaimana membuat mata kita terbelalak, tetapi menemukan solusinya secepat dan setepat mungkin. Sarana-sarana yang mengakibatkan rusaknya moral para remaja bahkan masyarakat pada umumnya, perlu segera dihentikan. Tontonan porno lewat televise, CD, internet, majalah, tabloid, suratkabar, buku porno dan sebagainya perlu dirazia, dan penyelenggaranya ditindak. Kalau dibiarkan, maka ancaman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam cukup tegas:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا ظَهَرَ الزِّنَا وَالرِّبَا فِي قَرْيَةٍ ، فَقَدْ أَحَلُّوا بِأَنْفُسِهِمْ كِتَابَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ. (الطبرانى ، والحاكم ، والبيهقى فى شعب الإيمان عن ابن عباس ، ولفظ الحاكم : عَذَابَ الله)
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Apabila zina dan riba telah nampak di suatu kampong, maka sungguh mereka telah menghalalkan diri-diri mereka (ditimpa) kitab (ketetapan) Allah ‘Azza wa Jalla. (HR At-Thabrani, Al-Hakim, Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman dari Ibnu Abbas. Lafal Al-Hakim: Azab Allah. Hadits ini dishahihkan oleh Al-Al-Bani dalam Shahihul Jami’ nomor 679, dan dishahihkan Adz-Dzahabi dalam At-Talkhish).
Al-Munawi dalam Faidhul Qadir (1/ 513) menjelaskan, artinya mereka menyebabkan jatuhnya adzab atas mereka karena mereka menyelisihi ketentuan hikmah Allah yaitu menjaga nasab (keturunan) dan tidak campur baurnya air (mani tanpa sah). (haji/tede)
إِذَا ظَهَرَ الزِّنَا وَالرِّبَا فِي قَرْيَةٍ ، فَقَدْ أَحَلُّوا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Apabila zina dan riba telah nampak di suatu kampong, maka sungguh mereka telah menghalalkan diri-diri mereka (ditimpa) adzab Allah ‘Azza wa Jalla. (HR At-Thabrani, Al-Hakim, Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman dari Ibnu Abbas. Hadits ini dishahihkan oleh Al-Al-Bani dalam Shahihul Jami’ nomor 679, dan dishahihkan Adz-Dzahabi dalam At-Talkhish).
Bicara tentang perzinaan sebenarnya sangat risih. Bahkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ada wanita yang mengaku dirinya berzina dan minta dihukum rajam (dilempari batu kerikil sampai mati) pun tidak langsung menyahutnya. Baru setelah wanita itu berkali-kali mengemukakan pengakuannya dan minta dihukum, barulah ditanya secara teliti, kemudian disuruh pulang dan mengasuh anaknya dulu sampai waktu yang ditentukan. Nanti agar kembali untuk mendapatkan hukuman yang dia minta itu.
Kenapa di sini justru membicarakan tentang zina?
Karena sudah ada penelitian dan hasilnya dikemukakan oleh Direktur Remaja dan Perlindungan Hak-Hak Reproduksi Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional Pusat (BKKBN) M Masri Muadz bahwa 63% remaja usia SMP SMA di 33 propinsi di Indonesia telah berzina.
Penelitian di Bandung menunjukkan remajanya 56% telah berzina. Ini sangat memprihatinkan. Betapa rusaknya moral bangsa Indonesia ini, dan telah merambah sampai ke anak-anak SMP sudah berbuat mesum, bahkan sebagian jadi pelacur beramai-ramai. Itu di antaranya karena mengejar hidup enak sesuai nafsu yang istilahnya hedonisme. Dan juga karena tontonan porno-porno ada di mana-mana, di televise dan lainnya.
Siapa yang harus bertanggung jawab?
Ya tentu saja yang berwenang di negeri ini. Mereka lah penanggung jawab pertama atas rusaknya bangsa ini.
Lantaran penelitian itu telah diumumkan, dan berita-berita pun telah tersebar, maka di sini hanya dirangkum berbagai peristiwa yang sangat memalukan bahkan terancam adzab Allah ini dituturkan di sini. Agar manusia yang masih tersisa kesadarannya mau kembali ke jalan yang benar, insya Allah!
Dalam kaitan dengan seks, setidaknya ada dua hal yang terjadi pada diri Remaja Indonesia. Pertama, seks bebas (berzina), yaitu mereka yang berusia remaja melakukan aktivitas seks bebas (berzina) dengan teman sebayanya, atau menjadi pengunjung tempat pelacuran untuk madon (berzina dengan pelacur). Kedua, pelacuran yang dilakukan anak-anak remaja, terutama remaja putri. Pelacuran ini dapat terjadi karena paksaan (ditipu germo dengan janji mendapatkan pekerjaan yang layak), atau bisa juga karena kesadaran.
Pelacur remaja yang terjun ke dunia prostitusi/ pelacuran dengan kesadaran, bukan paksaan, antara lain karena himpitan kemiskinan. Ada juga yang karena didorong oleh keinginan (bukan kebutuhan) menjalani kehidupan yang hedonistis (ingin punya handphone yang mahal, baju-baju yang bagus, dan sebagainya).
Zina Di Kalangan Remaja
Menurut hasil survey yang dilakukan sebuah lembaga di tahun 2008, diperoleh data sekitar 63% remaja mengaku sudah melakukan hubungan seks bebas (berzina) sebelum nikah. Responden survey meliputi remaja SMP dan SMA di 33 provinsi di Indonesia. Tiga tahun sebelumnya (2005), sebuah survey yang diselenggarakan sebuah perusahaan kondom, mengungkapkan data sekitar 40-45% remaja berusia antar 14-24 tahun menyatakan bahwa mereka telah berhubungan seks bebas (berzina) di luar pernikahan. Survey tersebut dilaksanakan di hampir semua kota besar di Indonesia dari Sabang sampai Merauke. (lihat tulisan berjudul Konser Musik, Zina dan Kerusuhan, December …)
Bila data survey tersebut reliable dan valid, maka dari dua data di atas menunjukkan adanya kenaikan yang cukup signifikan. Dari 40-45 persen di tahun 2005, menjadi 63% di tahun 2008. Artinya, ada kenaikan sekitar hampir 30 persen dalam jangka waktu ‘hanya’ tiga tahun.
Sebuah survey yang melibatkan rata-rata 100 responden remaja usia 15-24 tahun yang ada di setiap kecamatan di Kota Bandung, pernah dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan 25 Messenger Jawa Barat, selama Juni 2008 lalu. Hasilnya, sekitar 56% remaja Kota Bandung sudah pernah berhubungan seks bebas (berzina) di luar nikah, dengan pacar, teman, dan pelacur. Perilaku remaja yang mengadopsi seks bebas seperti itu paling banyak dipengaruhi oleh tontonan film porno, termasuk dari internet dan melalui telepon seluler.
Perilaku seks bebas di kalangan remaja tidak hanya dipraktekkan remaja kota besar seperti Jakarta dan Bandung, tetapi juga di kota-kota lain yang bukan tergolong kota metropolitan. Misalnya, sebagaimana dilakukan oleh seorang siswi salah satu SMK di Praya, Kabupaten Lombok Tengah, NTB.
Siswi berusia 17 tahun itu, untuk bisa melakukan seks bebas (berzina) dengan pacarnya yang berusia 21 tahun, harus pergi ke kota yang agak besar (Mataram), di sana mereka menyewa sebuah kamar di salah satu hotel kelas melati. Seks bebas yang dilakukannya itu berlangsung siang-siang sekitar jam 11:00 waktu setempat. Keduanya terjaring razia yang dilakukan aparat Polsek Mataram bersama Satpol PP Kota Mataram dan aparat kecamatan setempat. Siswi SMK yang masih berusia 17 tahun itu, mengaku sedang menjalani liburan pasca ujian tengah semester. (http://kompas.co.id/read/xml/2008/12/16/13390917/siang-siang.ngamar.siswi.smk.digaruk)
Di Batam, tiga siswi sebuah SMP Negeri Tiban, Sekupang, melakukan pesta seks di salah satu hotel. Dua diantaranya merupakan pasangan yang baru saja bersua. Namun perjumpaan yang baru sesaat itu tidak menyurutkan keinginan mereka melakukan seks bebas. Sebagaimana diberitakan Pos Metro edisi Selasa, 21 Oktober 2008, di bawah tajuk Siswi SMP Pesta Seks di Hotel.
Cerita bermula pada hari Kamis tanggal 16 Oktober 2008 sore, pemuda Hf (17) ketika itu mengadakan janji bertemu dengan pacarnya Intan (siswi SMP berusia 14 tahun), di Sungai Harapan. Hf tak sendiri bertemu Intan. Dua teman Hf yang lain, Rs (18) dan Dd (18), diajak serta. Di pihak Intan, ia pun membawa serta dua rekan wanitanya, sebut saja Puput dan Indah (kedua siswi ini juga disamarkan namanya).
Setelah masing-masing berkenalan (kecuali Hf dan Intan yang sudah kenal dan mengaku berpacaran), layaknya pasangan remaja yang lain (yang sebenarnya itu adalah haram menurut Islam), terlibat obrolan apa saja. Hingga larut malam. Puas menghabiskan hari, tiga sejoli ini makin kepincut dengan pasangannya masing-masing. Hf sibuk bermesraan dengan Intan. Rs bermanja ria dengan Puput. Sedangkan Dd dengan Indah. Ketiga pasangan, bahkan sudah bersama selama dua hari.
Hari Jum’at, tiga pasangan tersebut runtang-runtung tak tentu rimba dengan angkutan umum, antara lain jalan-jalan ke kawasan Jodoh, Batam Centre, Sekupang. Pukul 12 malam, ketiga pasangan remaja itupun melanjutkan acara dengan menginap di sebuah hotel, dan melakukan pesta seks. Hf melakukan persetubuhan dengan Intan. Ketika Hf dan Intan masuk kamar mandi, Rs pun membangunkan Puput untuk melakukan hal serupa. Sedangkan Dd dan Indah, mereka ‘hanya’ berciuman. Dalam ajaran Islam, meski ‘hanya’ berciman, sudah tergolong perzinaan, yaitu zina anggota badan, seperti zina mata, zina tangan dan sebagainya.
Beberapa bulan sebelumnya, kasus yang sama gilanya terjadi antara remaja belasan tahun, juga di Sekupang, Batam. Dila (16) berpacaran dengan Teguh (19), namun tidak direstui kedua orangtua Dila. Meski pendekatan ekstra sudah dilakukan Teguh, namun hasilnya tetap nihil. Karena menemui jalan buntu, akhirnya Teguh nekat meminta pengorbanan cinta dari Dila. Sebaliknya, Dila rela menyerahkan mahkotanya/ kehormatannya untuk pujaan hatinya, sebagai bukti pengorbanan (Pos Metro edisi Minggu, 26 Oktober 2008).
Peristiwa ‘pengorbanan’ itu pertama kali terjadi di bulan Agustus 2008. Kemudian berlanjut di hari-hari lain. Dila dan Teguh beranggapan, setelah melakukan hubungan badan (berzina), orangtua Dila akan luluh melihat anaknya tak lagi perawan. Nyatanya, kemurkaan orang tua Dila malah kian menjadi. Teguh pun dilaporkan ke polisi dengan tuduhan membawa kabur dan menggauli (menzinai) anak di bawah umur. Kalau saja pasangan yang sedang kemasukan godaan setan itu diberi kondom gratis (seperti yang dipraktekkan oleh para pengaku penanggulang AIDS), bukan penjara, niscaya aktivitas seks bebas mereka akan semakin jauh tersesat.
Kemungkinan remaja putri Dila terlalu banyak nonton sinetron percintaan yang kandungan materinya banyak ‘mengajak’ remaja melakukan seks bebas. Atau Dila kurang mendapat arahan dari orangtua, kurang mendapat bekal agama, sehingga ia tidak bisa membedakan rasa cinta yang datang dari Allah dengan rasa cinta yang datang dari Syaithon. Rasa cinta yang datang dari Syaithon, cenderung mengarah kepada perbuatan yang dilarang Allah. Sebaliknya, rasa cinta yang dari Allah, cenderung mengarah kepada perbuatan yang dibenci syaithon.
Pelacur Remaja
Belum reda keterkejutan kita terhadap data dan fakta di atas, masih harus ditambah lagi dengan ditemukannya fakta tentang sejumlah siswi SMP di Jakarta yang menjadi pelacur, bukan karena paksaan atau himpitan ekonomi, tetapi semata-mata dalam rangka memenuhi tuntutan hedonisme.
Sebagaimana diungkapkan Kompas Minggu edisi 28 Desember 2008, tentang kasus 22 siswi SMP negeri di kawasan Tambora, Jakarta Barat, yang menjalani kehidupan sebagai pelacur di luar jam sekolah. Sebelum menjalani kehidupan sebagai pelacur, mereka mengawalinya dengan menjual kegadisannya seharga Rp 2 juta kepada pria pelaku zina. Selanjutnya, mereka meneruskannya menjadi pelacur dengan tarif setiap kencan Rp 300.000, di bawah koordinasi seorang mucikari/ germo yang biasa nongkrong di Taman Hiburan Rakyat Lokasari, Tamansari, Jakarta Barat.
Kasus ini terungkap secara tidak sengaja. Salah seorang guru di sekolah tersebut melihat salah seorang siswi kelas 3 memiliki handphone seharga di atas Rp 4 juta. Ia lantas menaruh curiga. Kemudian, sang guru memanggil siswi tersebut dan memeriksa telepon selulernya. Di ponsel itu sang guru mendapati beberapa pesan singkat yang isinya berupa ajakan untuk berkencan. Dari satu siswi kemudian informasi berkembang sehingga diperoleh beberapa nama siswi lainnya.
Sang guru tidak begitu saja percaya, ia kemudian menyamar sebagai pemesan, dan mengajak salah satu siswi lainnya untuk bertemu dan berkencan. Tanpa diduga, siswi yang dipesannya itu datang ke tempat yang dijanjikan. Guru yang lain ada yang ikut dalam sebuah razia yang diadakan Satpol PP DKI. Dari hasil razia, beberapa pelacur yang tertangkap ternyata siswi SMP-nya.
Para siswi itu mengaku nekat menjalani kehidupan sebagai pelacur karena silau oleh ‘keberhasilan’ seorang rekan mereka yang telah lebih dulu jadi pelacur, sehingga memiliki banyak uang dan barang-barang berharga mahal.
Perilaku remaja siswi setingkat SMP yang menjalankan kehidupan sebagai pelacur, juga terjadi di Bandung. Sebagaimana diberitakan Tribun Jabar edisi Sabtu, 30 Agustus 2008: Satpol PP Kota Bandung, dalam rangka menyambut bulan Ramadhan menertibkan wanita malam di jalan-jalan protokol Kota Bandung, Jumat (29/8) dini hari. Berhasil dijaring 42 pelacur, salah satu di antaranya siswi SMP swasta kelas dua. Dengan alasan kemanusian, siswi SMP itu dilepaskan, setelah dinasehati. Ia menjadi pelacur karena butuh uang untuk biaya sekolah dan makan karena kedua orangtuanya tidak mampu membiayai. (http://72.14.235.132/search?q=cache:gaEuCybkccgJ:www.lodaya.web.id/%3Fp%3D1364+Siswi+SMP+Jajakan+Diri&hl=id&gl=id&strip=1)
Kalau benar ia menjadi pelacur semata-mata untuk biaya sekolah dan makan, bukan karena mengikuti gaya hidup yang hedonistis, dan benar-benar karena kedua oangtuanya tidak mampu, maka apa yang ia lakukan menjadi tanggung jawab masyarakat di sekitarnya, dan menjadi tanggung jawab pimpinan (umara, pemerintah) di lingkungan terdekatnya.
Sejauh ini penelitian tentang remaja putri yang menjalani kehidupan sebagai pelacur, pernah dilakukan di Medan oleh Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA), pada September hingga November 2007, dengan mewawancarai secara mendalam sejumlah 50 responden, di antaranya terdiri dari 14 siswi SMP dan 27 berstatus siswi SMA/SMK. (http://www.eska.or.id/news/detail/?id=27)
Dari pengakuan para responden, di sekolah mereka terdapat sejumlah teman sebaya yang juga terlibat dalam pelacuran, yang jumlahnya bervariasi antara 30 hingga 60 orang. Salah seorang responden yang masih duduk di kelas 3 SMP menuturkan, di kelasnya saja ada 15 teman sebayanya yang sudah biasa berkencan dengan pria dewasa, dengan kisaran usia 30-50 tahun. Aktivitas pelacuran itu dipraktekkan pada siang hari, kebanyakan antara jam 3 hingga jam 6 sore. Namun ada juga yang melakukannya pada malam hari.
Menurut Ahmad Sofian (Direktur PKPA), “Kami menemukan modus baru dalam bisnis seks ini, yaitu pulang sekolah tidak pulang ke rumah tetapi dibawa ke hotel. Untuk meyakinkan orangtua, teman-temannya ikut meminta izin dengan dalih mengajak renang atau jalan-jalan, sehingga orangtua anak tidak curiga.”
Para pelacur muda ini oleh orangtuanya sampai saat ini dikenal sebagai anak yang rajin sekolah, anak rumahan dan penurut dengan nasihat orangtua. Dengan demikian bukan faktor internal yang mendorong mereka menjalani kehidupan sebagai pelacur, tetapi faktor eksternal, yaitu:
Sebagian besar dari mereka adalah gadis-gadis yang sudah berpacaran kelewat batas atau dikecewakan pacar (18 kasus).
Mereka yang terjerat konsumerisme, ingin mengikuti gaya hidup mewah seperti punya handphone, baju bagus dan sebagainya (8 kasus).
Karena diajak teman (24 kasus).
Menggunakan uang sekolah (6 kasus).
Sedangkan yang menjadi faktor pemicu adalah karena keadaan mereka sudah tidak perawan lagi.
Kasus Tambora (Jakarta Barat) sebagaimana diungkapkan Wartakota dan Kompas di atas, nampaknya sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan KPKA. Sebagaimana di Tambora, pelacur muda ini mengawali dengan menjual keperawanannya dengan harga Rp 2 juta hingga Rp 5 juta. Selanjutnya mereka mendapat bayaran antara Rp 200 ribu hingga Rp 800 ribu per kencan.
Kasus yang hampir serupa juga terjadi di Bogor, Jawa Barat, sebagaimana diberitakan harian SIB edisi 14 Desember 2008. (http://hariansib.com/2008/12/14/perawan-anak-sma-rp-15-juta/). Akibat bekapan kemiskinan dan keterbatasan ekonomi orangtua untuk melanjutkan sekolah, lima siswi SMA di Kota Bogor terpaksa masuk ke dalam sindikat pelacuran yang dikendalikan seorang napi dari balik jeruji penjara. Mereka sudah menggeluti dunia pelacuran sejak SMP. Tarifnya jauh di atas pelacur cilik Tambora dan Medan. Sekali kencan, mereka dibayar Rp 5 juta. Bila masih perawan, dihargai Rp 15 juta.
Salah satu pelacur remaja ini (Ls, 18 tahun) mengaku menjadi wanita panggilan lantaran ekonomi keluarganya yang pas-pasan. Ayahnya cuma seorang petani penggarap, sehingga tidak bisa membiayai keinginan Ls melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Dia tergiur menjadi pelacur remaja setelah melihat temannya yang bergaya hidup mewah. “Waktu itu saya diajak sama dia untuk kerja sampingan. Eh nggak tahunya kerja seperti ini,” katanya.
Di Surabaya April 2008 lalu pernah diungkap kasus pelacuran yang dilakoni pelajar SMP dan SMA. Terungkapnya kasus pelacur pelajar ini setelah anggota Reskoba Idik II Polwiltabes Surabaya menangkap seorang pelacur pelajar berinisial IWP di sebuah hotel. Dari pengakuan IWP, akhirnya terungkap jaringan bisnis pelacuran yang melibatkan pelajar SMP dan SMA di Surabaya. Para pelacur pelajar itu dihargai mulai Rp 500.000 hingga Rp 1,5 juta. Tersangka IWP sendiri saat pertama naik kelas III SMA kegadisannya dijual dengan harga Rp 10 juta kepada seseorang di Bali. Bahkan IWP pernah melayani tamunya yang ada di Makassar dengan imbalan Rp 2 juta. (http://www.surya.co.id/web/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=42126)
Penelitian di Medan (2007) yang didukung oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan, akan sangat disambut baik oleh rakyat Indonesia bila hal serupa dapat dilakukan di berbagai provinsi yang ada, terutama provinsi-provinsi rawan seperti DKI Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, DI Yogyakarta, dan sebagainya. Bukan mustahil, dari hasil penelitian itu kelak, akan membuat mata kita terbelalak. Namun yang paling penting, bukan bagaimana membuat mata kita terbelalak, tetapi menemukan solusinya secepat dan setepat mungkin. Sarana-sarana yang mengakibatkan rusaknya moral para remaja bahkan masyarakat pada umumnya, perlu segera dihentikan. Tontonan porno lewat televise, CD, internet, majalah, tabloid, suratkabar, buku porno dan sebagainya perlu dirazia, dan penyelenggaranya ditindak. Kalau dibiarkan, maka ancaman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam cukup tegas:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا ظَهَرَ الزِّنَا وَالرِّبَا فِي قَرْيَةٍ ، فَقَدْ أَحَلُّوا بِأَنْفُسِهِمْ كِتَابَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ. (الطبرانى ، والحاكم ، والبيهقى فى شعب الإيمان عن ابن عباس ، ولفظ الحاكم : عَذَابَ الله)
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Apabila zina dan riba telah nampak di suatu kampong, maka sungguh mereka telah menghalalkan diri-diri mereka (ditimpa) kitab (ketetapan) Allah ‘Azza wa Jalla. (HR At-Thabrani, Al-Hakim, Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman dari Ibnu Abbas. Lafal Al-Hakim: Azab Allah. Hadits ini dishahihkan oleh Al-Al-Bani dalam Shahihul Jami’ nomor 679, dan dishahihkan Adz-Dzahabi dalam At-Talkhish).
Al-Munawi dalam Faidhul Qadir (1/ 513) menjelaskan, artinya mereka menyebabkan jatuhnya adzab atas mereka karena mereka menyelisihi ketentuan hikmah Allah yaitu menjaga nasab (keturunan) dan tidak campur baurnya air (mani tanpa sah). (haji/tede)
0 komentar:
Posting Komentar