Tujuan pembangunan nasional
sebagaimana tercantum dalam GBHN adalah pembangunan manusia seutuhnya dan
pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya. Hal ini berarti bahwa pembangunan tidak
hanya mengejar kepuasan lahiriah saja seperti sandang, pangan, papan, dan
kesehatan saja ataupun mengejar kepuasan batiniah seperti pendidikan, rasa
aman, bebas mengeluarkan pendapat yang bertanggung jawab dan rasa keadilan
saja, melainkan antara pembangunan lahiriah dan batiniah tersebut haruslah
berjalan seiring secara serasi.
Untuk mewujudkan
tujuan pembangunan nasional seperti yang tercantum di atas, maka sudah barang
tentu akan sangat diperlukan sumber daya manusia yang berkualitas. Dalam hal
ini pendidikan merupakan salah satu sarana untuk menciptakan sumber daya –
sumber daya manusia yang berkualitas tersebut.
Pendidikan sangat penting dalam kehidupan dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan. Sifatnya mutlak dalam kehidupan, baik dalam kehidupan seseorang, keluarga, maupun bangsa dan Negara. Maju mundurnya suatu bangsa banyak ditentukan oleh maju mundurnya pendidikan bangsa itu (Sudirman N, dkk, 1992 : 3).
Pendidikan sangat penting dalam kehidupan dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan. Sifatnya mutlak dalam kehidupan, baik dalam kehidupan seseorang, keluarga, maupun bangsa dan Negara. Maju mundurnya suatu bangsa banyak ditentukan oleh maju mundurnya pendidikan bangsa itu (Sudirman N, dkk, 1992 : 3).
Tujuan pendidikan
dan pengajaran di Indonesia berlandaskan pada falsafah hidup bangsa, yaitu
Pancasila. Bila kita kaji lebih jauh lagi apa yang diuraikan dalam Pasal 4
UUSPN No. 2 tahun 1989, maka kita dapat mengetahui apa yang menjadi tujuan
pendidikan di Indonesia dimana Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan
kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia
yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti
luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani,
kepribadian yang mantap dan mandiri serta tanggung jawab kemasyarakatan dan
kebangsaan.
Untuk mecapai
tujuan pendidikan nasional tersebut, guru sebagai ujung tombak pelaksana
pendidikan di lapangan sangat menentukan keberhasilannya. Dalam hal ini guru
dapat dikatakan sebagai pemegang peranan utama dalam proses pendidikan yang
tercermin dalam proses belajar-mengajar di sekolah.
Dalam proses belajar-mengajar melibatkan banyak factor. Dapat dijelaskan bahwa masukan (raw input) yang merupakan bahan dasar diberikan pengalaman belajar tertentu dalam proses belajar-mengajar, dengan harapan dapat berubah menjadi keluaran (expected) input) yang berupa hasil belajar yang diharapkan. Dalam proses belajar-mengajar diharapkan pula sejumlah factor sarana dan factor lingkungan guna menunjang tercapainya keluaran yang dikehendaki.
Dalam proses belajar-mengajar melibatkan banyak factor. Dapat dijelaskan bahwa masukan (raw input) yang merupakan bahan dasar diberikan pengalaman belajar tertentu dalam proses belajar-mengajar, dengan harapan dapat berubah menjadi keluaran (expected) input) yang berupa hasil belajar yang diharapkan. Dalam proses belajar-mengajar diharapkan pula sejumlah factor sarana dan factor lingkungan guna menunjang tercapainya keluaran yang dikehendaki.
Pada saat proses belajar–mengajar
berlangsung di kelas, akan terjadi hubungan timbal balik antara guru dan siswa
yang beraneka ragam, dan itu akan mengakibatkan terbatasnya waktu guru untuk
mengontrol bagaimana pengaruh tingkah lakunya terhadap motivasi belajar siswa.
Selama pelajaran berlangsung guru sulit menentukan tingkah laku mana yang
berpengaruh positif terhadap motivasi belajar siswa, misalnya gaya mengajar
mana yang memberi kesan positif pada diri siswa selama ini, strategi mana yang
dapat membantu kejelasan konsep selama ini, media dan metode mana yang tepat
untuk dipakai dalam menyajikan suatu bahan sehingga dapat membantu mengaktifkan
siswa dalam belajar.
Hal tersebut memperkuat anggapan bahwa guru dituntut untuk lebih kreatif dalam proses belajar – mengajar, sehingga tercipta suasana belajar yang menyenangkan pada diri siswa yang pada akhirnya meningkatkan motivasi belajar siswa.
Hal tersebut memperkuat anggapan bahwa guru dituntut untuk lebih kreatif dalam proses belajar – mengajar, sehingga tercipta suasana belajar yang menyenangkan pada diri siswa yang pada akhirnya meningkatkan motivasi belajar siswa.
Selanjutnya Djamarah Syaiful Bahri
(2005) mengatakan bahwa kedudukan metode sebagai alat motivasi ekstrinsik dalam
kegiatan belajar–mengajar hendaknya dipahami benar oleh guru. Motivasi
ekstrinsik adalah motif-motif yang aktif dan berfungsi, karena ada perangsang
dari luar. Sehingga metode dalam hal ini berkedudukan sebagai alat untuk
meningkatkan minat belajar siswa dari luar. Dalam menyampaikan suatu bahan
pelajaran, guru harus mampu melakukan pengorganisasian terhadap seluruh
komponen pelajaran, yang salah satunya adalah metode mengajar.
Syaiful bahri Djamarah, (1991)
mengemukakan pendapatnya mengenai metode memgajar sebagai berikut: “Metode
adalah salah satu cara yang dipergunakan untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Dalam kegiatan belajar mengajar metode sangat diperlukan oleh
setiap guru yang penggunaannya sangat bervariasi sesuai dengan karakteristik
tujuan yang ingin dicapai setelah pembelajaran berakhir. Seorang guru tidak
akan dapat melaksanakan tugasnya bila tidak memguasai satu pun metode mengajar
yang telah dirumuskan oleh para ahli psikologi pendidikan”.
Pendapat terserbut didukung oleh
Karo-karo Ing S. Ulih Bukit (1975) yang mengemukakan bahwa metode mengajar
ialah suatu cara tau jalan yang berfungsi sebagai alat yang digunakan dalam
pengajaran untuk mencapai tujuan pengajaran.
Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa metode mengajar merupakan suatu teknik atau cara yang ditempuh guru dalam
menyampaikan bahan pelajaran kepada siswa dan melibatkan interaksi yang aktif
dan dinamis antara guru dan siswa, sehingga tujuan belajar yang telah
ditetapkan dapat tercapai secara efektif dan efisien.
Metode
Penemuan (Discovery-Inquiry)
Metode penemuan
adalah cara penyajian pelajaran yang banyak melibatkan siswa dalam
proses-proses mental dalam rangka penemuannya.Menurut Sund (Sudirman N, 1992
), discovery adalah proses mental, dan dalam proses
itu individu mengasimilasi konsep dan prinsip-prinsip.
Istilah asing yang sering digunakan untuk metode ini ialah discovery yang berarti penemuan, atau inquiryyang berarti mencari. Mengenai penggunaan istilah discovery daninquiry para ahli terbagi ke dalam dua pendapat, yaitu:
·
Istilah-istilah discovery dan inquiry dapat diartikan dengan maksud yang sama
dan digunakan saling bergantian atau keduanya sekaligus.
·
Istilah discovery, sekalipun
secara umum menunjuk kepada pengertian yang sama dengan inquiry, pada hakikatnya mengandung perbedaan
dengan inquiry.
Moh. Amin (Sudirman
N, 1992 ) menjelaskan bahwa pengajaran discoveryharus
meliputi pengalaman-pengalaman belajar untuk menjamin siswa dapat mengembangkan
proses-proses discovery. Inquiry dibentuk
dan meliputi discovery dan lebih banyak
lagi. Dengan kata lain, inquiry adalah
suatu perluasan proses-proses discovery yang
digunakan dalam cara lebih dewasa. Sebagai tambahan pada proses-proses discovery, inquiry mengandung
proses-proses mental yang lebih tinggi tingkatannya, misalnya merumuskan
problema sendiri, merancang eksperimen, melakukan eksperimen, mengumpulkan dan
menganalisis data, menarik kesimpulan, mempunyai sikap-sikap obyektif, jujur,
hasrat ingin tahu, terbuka, dan sebagainya.
Mengenai kelebihan
dan kekurangan metode penemuan/discovery-inquiry diuraikan
oleh Sudirman N, dkk (1992) sebagai berikut :
Kelebihan
metode penemuan/discovery-inquiry :
1.
Strategi pengajaran menjadi berubah dari yang bersifat penyajian
informasi oleh guru kepada siswa sebagai penerima informasi yang baik tetapi
proses mentalnya berkadar rendah, menjadi pengajaran yang menekankan kepada
proses pengolahan informasi di mana siswa yang aktif mencari dan mengolah
sendiri informasi yang kadar proses mentalnya lebih tinggi atau lebih banyak.
2.
Siswa akan mengerti konsep-konsep dasar atau ide lebih baik.
3.
Membantu siswa dalam menggunakan ingatan dan dalam rangka
transfer kepada siutuasi-situasi proses belajar yang baru.
4.
Mendorong siswa untuk berfikur dan bekerja atas inisiatifnya
sendiri.
5.
Memungkinkan siswa belajar dengan memanfaatkan berbagai jenis
sumber belajar yang tida hanya menjadikan guru sebagai satu-satunya sumber
belajar.
6.
Metode ini dapat memperkaya dan memperdalam materi yang
dipelajari sehingga retensinya 9tahan lama dalam ingatan) menjadi lebih baik.
Kekurangan
metode penemuan/discovery-inquiry :
1.
Memerlukan perubahan kebiasaan cara belajar siswa yang menerima
informasi dari guru apa adanya, ke arah membiasakan belajar mandiri dan
berkelompok dengan mencari dan mengolah informasi sendiri. Mengubah kebiasaan
bukanlah sesuatu yang mudah, apalagi kebiasaan yang telah bertahun-tahun
dilakukan.
2.
Guru dituntut mengubah kebiasaan mengajar yang umumnya sebagai
pemberi informasi menjadi fasilitator, motivator, dan pembimbing siswa dalam
belajar. Inipun bukan pekerjaan yang mudah karena umumnya guru merasa belum
puas kalau tidak banyak menyajikan informasi (ceramah).
3.
Metode ini memberikan kebebasan pada siswa dalam belajar, tetapi
tidak berarti menjamin bahwa siswa belajar dengan tekun, penuh aktivitas, dan
terarah.
4.
Cara belajar siswa dalam metode ini menuntut bimbingan guru yang
lebih baik. Dalam kondisi siswa banyak (kelas besar) dan guru terbatas, agaknya
metode ini sulit terlaksana dengan baik.
Jenis-Jenis
Metode Penemuan (Discovery-Inquiry)
Moh. Amin (Sudirman
N, 1992) menguraikan tentang tujuh jenis inquiry-discovery yang
dapat diikuti sebagai berikut :
1. Guided Discovery-Inquiry Lab. Lesson
Sebagian perencanaan dibuat oleh
guru. Selain itu guru menyediakan kesempatan bimbingan atau petunjuk yang cukup
luas kepada siswa. Dalam hal ini siswa tidak merumuskan problema, sementara
petunjuk yang cukup luas tentang bagaimana menyusun dan mencatat diberikan oleh
guru.
2. Modified Discovery-Inquiry
Guru hanya memberikan problema saja.
Biasanya disediakan pula bahan atau alat-alat yang diperlukan, kemudian siswa
diundang untuk memecahkannya melalui pengamatan, eksplorasi dan atau melalui
prosedur penelitian untuk memperoleh jawabannya. Pemecahan masalah dilakukan
atas inisiatif dan caranya sendiri secara berkelompok atau perseorangan. Guru
berperan sebagai pendorong, nara sumber, dan memberikan bantuan yang diperlukan
untuk menjamin kelancaran proses belajar siswa.
3. Free Inquiry
Kegiatan free inquiry dilakukan setelah siswa mempelajarai
dan mengerti bagaimana memecahkan suatu problema dan telah memperoleh
pengetahuan cukup tentang bidang studi tertentu serta telah melakukan modified discovery-inquiry. Dalam metode ini siswa
harus mengidentifikasi dan merumuskan macam problema yang akan dipelajari atau
dipecahkan.
4. Invitation Into Inquiry
Siswa dilibatkan dalam proses
pemecahan problema sebagaimana cara-cara yang lazim diikuti scientist. Suatu
undangan (invitation) memberikan suatu problema kepada siswa, dan melalui
pertanyaan masalah yang telah direncanakan dengan hati-hati mengundang siswa
untuk melakukan beberapa kegiatan atau kalau mungkin, semua kegiatan sebagai
berikut : merancang eksperimen, merumuskan hipotesis, menetapkan kontrol,
menentukan sebab akibat, menginterpretasi datadan membuat grafik
5. Inquiry Role Approach
Inquiry Role Approach
merupakan kegiatan
proses belajar yang melibatkan siswa dalam tim-tim yang masing-masing terdiri
tas empat anggota untuk memecahkan invitation into inquiry.
Masing-masing anggota tim diberi tugas suatu peranan yang berbeda-beda sebagai
berikut : koodinator tim, penasihat teknis, pencatat data dan evaluator proses
6. Pictorial Riddle
Pendekatan dengan
menggunakan pictorial riddle adalah salah
satu teknik atau metode untuk mengembangkan motivasi dan minat siswa di dalam
diskusi kelompok kecil maupun besar. Gambar atau peragaan, peragaan, atau
situasi yang sesungguhnya dapat digunakan untuk meningkatkan cara berfikir
kritis dan kreatif siswa. Suatu ridllebiasanya
berupa gambar di papan tulis, papan poster, atau diproyeksikan dari suatu
trasparansi, kemudian guru mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan ridlle itu.
7. Synectics Lesson
Pada dasarnya syntetics memusatkan pada keterlibatan siswa
untyuk membuat berbagai macam bentuk metafora (kiasan) supaya dapat membuka
intelegensinya dan mengembangkan kreativitasnya. Hal ini dapat dilaksankan
karena metafora dapat membantu dalam melepaskan “ikatan struktur mental” yang
melekat kuat dalam memandang suatu problema sehingga dapat menunjang timbulnya
ide-ide kreatif.
A. PENGERTIAN
Salah satu metode pembelajaran
dalam bidang Sains, yang sampai sekarang masih tetap dianggap sebagai metode
yang cukup efektif adalah metode inquiry. David L. Haury
dalam artikelnya, Teaching Science Through Inquiry (1993)
mengutip definisi yang diberikan oleh Alfred Novak: inquiry merupakan tingkah
laku yang terlibat dalam usaha manusia untuk menjelaskan secara rasional
fenomena-fenomena yang memancing rasa ingin tahu. Dengan kata lain, inquiry
berkaitan dengan aktivitas dan keterampilan aktif yang fokus pada pencarian pengetahuan
atau pemahaman untuk memuaskan rasa ingin tahu (Haury, 1993).
Alasan rasional penggunaan metode
inquiry adalah bahwa siswa akan mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai
Sains dan akan lebih tertarik terhadap Sains jika mereka dilibatkan secara
aktif dalam “melakukan” Sains. Investigasi yang dilakukan oleh siswa merupakan
tulang punggung metode inquiry. Investigasi ini difokuskan untuk memahami
konsep-konsep Sains dan meningkatkan keterampilan proses berpikir ilmiah siswa.
Diyakini bahwa pemahaman konsep merupakan hasil dari proses berfikir ilmiah
tersebut (Blosser, 1990).
Metode inquiry yang
mensyaratkan keterlibatan aktif siswa terbukti dapat meningkatkan prestasi
belajar dan sikap anak terhadap Sains dan Matematika (Haury, 1993). Dalam
makalahnya Haury menyatakan bahwa metode inquiry membantu perkembangan antara
lain scientific literacy dan pemahaman proses-proses ilmiah, pengetahuanvocabulary dan pemahaman konsep, berpikir kritis,
dan bersikap positif. Dapat disebutkan bahwa metode inquiry tidak saja
meningkatkan pemahaman siswa terhadap konsep-konsep dalam Sains saja, melainkan
juga membentuk sikap keilmiahan dalam diri siswa.
Metode inquiry merupakan metode
pembelajaran yang berupaya menanamkan dasar-dasar berfikir ilmiah pada diri
siswa, sehingga dalam proses pembelajaran ini siswa lebih banyak belajar
sendiri, mengembangkan kreativitas dalam memecahkan masalah. Siswa benar-benar
ditempatkan sebagai subjek yang belajar. Peranan guru dalam pembelajaran dengan
metode inquiry adalah sebagai pembimbing dan fasilitator. Tugas guru adalah
memilih masalah yang perlu disampaikan kepada kelas untuk dipecahkan. Namun
dimungkinkan juga bahwa masalah yang akan dipecahkan dipilih oleh siswa. Tugas
guru selanjutnya adalah menyediakan sumber belajar bagi siswa dalam rangka
memecahkan masalah. Bimbingan dan pengawasan guru masih diperlukan, tetapi
intervensi terhadap kegiatan siswa dalam pemecahan masalah harus dikurangi
(Sagala, 2004).
Walaupun dalam
praktiknya aplikasi metode pembelajaran inquiry sangat beragam, tergantung pada
situasi dan kondisi sekolah, namun dapat disebutkan bahwa pembelajaran dengan
metode inquiry memiliki 5 komponen yang umum yaitu Question, Student Engangement, Cooperative Interaction,
Performance Evaluation, dan Variety of Resources (Garton,
2005).
Question. Pembelajaran
biasanya dimulai dengan sebuah pertanyaan pembuka yang memancing rasa ingin
tahu siswa dan atau kekaguman siswa akan suatu fenomena. Siswa diberi
kesempatan untuk bertanya, yang dimaksudkan sebagai pengarah ke pertanyaan inti
yang akan dipecahkan oleh siswa. Selanjutnya, guru menyampaikan pertanyaan inti
atau masalah inti yang harus dipecahkan oleh siswa. Untuk menjawab pertanyaan
ini – sesuai dengan Taxonomy Bloom –
siswa dituntut untuk melakukan beberapa langkah seperti evaluasi, sintesis, dan analisis. Jawaban dari pertanyaan inti tidak dapat
ditemukan misalnya di dalam buku teks, melainkan harus dibuat atau
dikonstruksi.
Student Engangement. Dalam metode
inquiry, keterlibatan aktif siswa merupakan suatu keharusan sedangkan peran
guru adalah sebagai fasilitator. Siswa bukan secara pasif menuliskan jawaban
pertanyaan pada kolom isian atau menjawab soal-soal pada akhir bab sebuah buku,
melainkan dituntut terlibat dalam menciptakan sebuah produk yang menunjukkan
pemahaman siswa terhadap konsep yang dipelajari atau dalam melakukan sebuah
investigasi.
Cooperative Interaction. Siswa diminta untuk
berkomunikasi, bekerja berpasangan atau dalam kelompok, dan mendiskusikan
berbagai gagasan. Dalam hal ini, siswa bukan sedang berkompetisi. Jawaban dari
permasalahan yang diajukan guru dapat muncul dalam berbagai bentuk, dan mungkin
saja semua jawaban benar.
Performance Evaluation. Dalam menjawab
permasalahan, biasanya siswa diminta untuk membuat sebuah produk yang dapat
menggambarkan pengetahuannya mengenai permasalahan yang sedang dipecahkan.
Bentuk produk ini dapat berupa slide presentasi, grafik, poster, karangan, dan
lain-lain. Melalui produk-produk ini guru melakukan evaluasi.
Variety of Resources.Siswa dapat
menggunakan bermacam-macam sumber belajar, misalnya buku teks, website,
televisi, video, poster, wawancara dengan ahli, dan lain sebagainya.
B. Teori
– teori Motivasi
Motivasi adalah
istilah yang digunakan untuk menggambarkan apa yang memberikan energi bagi seseorang dan apa yang
memberikan arah bagi aktivitasnya.
Motivasi kadang-kadang dibandingkan dengan mesin dan kemudi pada mobil. Energi
dan arah inilah yang menjadi inti dari konsep tentang motivasi. Motivasi
merupakan sebuah konsep yang luas (diffuse), dan
seringkali dikaitkan dengan faktor-faktor lain yang mempengaruhi energi dan
arah aktivitas manusia, misalnya minat (interest), kebutuhan
(need), nilai (value), sikap (attitude), aspirasi, dan insentif (Gage & Berliner,
1984). Dengan pengertian istilah motivasi seperti tersebut di atas, kita
dapat mendefinisikan motivasi belajar siswa, yaitu apa yang memberikan energi untuk belajar bagi
siswa dan apa yang memberikan arah bagi
aktivitas belajar siswa.
Secara umum,
teori-teori tentang motivasi dapat dikelompokkan berdasarkan sudut pandangnya,
yaitu behavioral, cognitive, psychoanalytic, humanistic, social learning, dansocial cognition.
1. Teori-teori Behavioral
Robert M. Yerkes
dan J.D. Dodson, pada tahun 1908 menyampaikan Optimal
Arousal Theory atau teori tentang tingkat motivasi optimal, yang
menggambarkan hubungan empiris antara rangsangan (arousal) dan kinerja
(performance). Teori ini menyatakan bahwa kinerja
meningkat sesuai dengan rangsangan tetapi hanya sampai pada titik tertentu;
ketika tingkat rangsangan menjadi terlalu tinggi, kinerja justru menurun,
sehingga disimpulkan terdapat rangsangan optimal untuk suatu aktivitas tertentu
(Yerkes & Dodson, 1908).
Pada tahun 1943,
Clark Hull mengemukakan Drive Reduction Theory yang
menyatakan bahwa kebutuhan biologis dan pemuasan kebutuhan biologis adalah
penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga
stimulus dalam belajar pun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis,
walaupun respon yang muncul mungkin bermacam-macam bentuknya (Budiningsih,
2005). Masih menurut Hull, suatu kebutuhan biologis pada makhluk hidup
menghasilkan suatu dorongan (drive) untuk
melakukan aktivitas memenuhi kebutuhan tersebut, sehingga meningkatkan
kemungkinan bahwa makhluk hidup ini akan melakukan respon berupa reduksi
kebutuhan (need reduction response). Menurut teori Hull, dorongan
(motivators of performance) dan reinforcement bekerja bersama-sama untuk membantu
makhluk hidup mendapatkan respon yang sesuai (Wortman, 2004). Lebih jauh Hull
merumuskan teorinya dalam bentuk persamaan matematis antara drive (energi) dan habit (arah)
sebagai penentu dari behaviour (perilaku)
dalam bentuk:
Behaviour = Drive × Habit
Karena hubungan
dalam persamaan tersebut berbentuk perkalian, maka ketika drive = 0, makhluk hidup tidak akan bereaksi sama
sekali, walaupun habit yang diberikan sangat
kuat dan jelas (Berliner & Calfee, 1996).
Pada periode 1935 –
1960, Kurt Lewin mengajukan Field Theory yang
dipengaruhi oleh prinsip dasar psikologi Gestalt. Lewin menyatakan bahwa
perilaku ditentukan baik oleh person (P)
maupun oleh environment (E):
Behaviour = f(P, E)
Menurut Lewin,
besar gaya motivasional pada seseorang untuk mencapai suatu tujuan yang sesuai
dengan lingkungannya ditentukan oleh tiga faktor: tension (t) atau besar
kecilnya kebutuhan, valensi (G ) atau sifat objek tujuan, dan jarak psikologis
orang tersebut dari tujuan (e).
Force = f(t, G)/e
Dalam persamaan
Lewin di atas, jarak psikologis berbanding terbalik dengan besar gaya
(motivasi), sehingga semakin dekat seseorang dengan tujuannya, semakin besar
gaya motivasinya. Sebagai contoh, seorang pelari yang sudah kelelahan
melakukan sprint ketika ia melihat atau
mendekati garis finish. Teori Lewin memandang motivasi sebagai tension yang menggerakkan seseorang untuk mencapai
tujuannya dari jarak psikologis yang bervariasi (Berliner & Calfee, 1996).
2. Teori-teori
Cognitive
Pada tahun 1957
Leon Festinger mengajukan Cognitive Dissonance Theory yang
menyatakan jika terdapat ketidakcocokan antara dua keyakinan, dua tindakan,
atau antara keyakinan dan tindakan, maka kita akan bereaksi untuk menyelesaikan
konflik dan ketidakcocokan ini. Implikasi dari hal ini adalah bahwa jika kita
dapat menciptakan ketidakcocokan dalam jumlah tertentu, ini akan menyebabkan
seseorang mengubah perilakunya, yang kemudian mengubah pola pikirnya, dan
selanjutnya mengubah lebih jauh perilakunya (Huitt, 2001).
Teori kedua yang termasuk dalam teori-teori cognitive
adalah Atribution Theory yang dikemukakan oleh Fritz
Heider (1958), Harold Kelley (1967, 1971), dan Bernard Weiner (1985, 1986).
Teori ini menyatakan bahwa setiap individu mencoba menjelaskan kesuksesan atau
kegagalan diri sendiri atau orang lain dengan cara menawarkan attribut-atribut
tertentu. Atribut ini dapat bersifat internal maupun eksternal dan terkontrol
maupun yang tidak terkontrol seperti tampak pada diagram berikut.
Internal Eksternal Tidak
terkontrol Kemampuan (ability) Keberuntungan (luck) Terkontrol Usaha
(effort) Tingkat kesulitan tugas
Dalam sebuah pembelajaran, sangat
penting untuk membantu siswa mengembangkan atribut-diri usaha (internal,
terkontrol). Jika siswa memiliki atribut kemampuan (internal, tak terkontrol),
maka begitu siswa mengalami kesulitan dalam belajar, siswa akan menunjukkan
perilaku belajar yang melemah (Huitt, 2001).
Pada tahun 1964,
Vroom mengajukan Expectancy Theoryyang secara matematis dituliskan
dalam persamaan:
Motivation =
Perasaan berpeluang sukses (expectancy) ×
Hubungan antara sukses dan reward (instrumentality) ×
Nilai dari tujuan (Value)
Karena dalam rumus
ini yang digunakan adalah perkalian dari tiga variabel, maka jika salah satu
variabel rendah, motivasi juga akan rendah. Oleh karena itu, ketiga variabel
tersebut harus selalu ada supaya terdapat motivasi. Dengan kata lain, jika seseorang merasa tidak percaya bahwa ia dapat
sukses pada suatu proses belajar atau ia tidak
melihat hubungan antara aktivitasnya dengan kesuksesan atau ia tidak menganggap tujuan belajar yang
dicapainya bernilai, maka kecil
kemungkinan bahwa ia akan terlibat dalam aktivitas belajar.
3. Teori-teori Psychoanalytic
Salah satu teori
yang sangat terkenal dalam kelompok teori ini adalah Psychoanalytic
Theory (Psychosexual Theory) yang dikemukakan oleh
Freud (1856 – 1939) yang menyatakan bahwa semua tindakan atau perilaku
merupakan hasil dari naluri (instinct) biologis
internal yang terdiri dari dua kategori, yaitu hidup (sexual) dan mati (aggression). Erik
Erikson yang merupakan murid Freud yang menentang pendapat Freud, menyatakan
dalam Theory of Socioemotional Development (atau Psychosocial Theory) bahwa yang paling
mendorong perilaku manusia dan pengembangan pribadi adalah interaksi sosial
(Huitt, 1997).
4. Teori-teori
Humanistic
Teori yang sangat
berpengaruh dalam teori humanistic ini adalah Theory
of Human Motivation yang dikembangkan oleh Abraham Maslow (1954). Maslow
mengemukakan gagasan hirarki kebutuhan manusia, yang terbagi menjadi dua
kelompok, yaitu deficiency needs dan growth needs. Deficiency needs meliputi
(dari urutan paling bawah) kebutuhan fisiologis, kebutuhan rasa aman, kebutuhan
akan cinta dan rasa memiliki, dan kebutuhan akan penghargaan. Dalam deficiency needs ini, kebutuhan yang lebih bawah
harus dipenuhi lebih dulu sebelum ke kebutuhan di level berikutnya. Growth needs meliputi kebutuhan kognitif,
kebutuhan estetik, kebutuhan aktualisasi diri, dan kebutuhan self-transcendence. Menurut Maslow, manusia hanya dapat
bergerak ke growth needs jika dan hanya
jika deficiency needs sudah terpenuhi. Hirarki
kebutuhan Maslow merupakan cara yang menarik untuk melihat hubungan antara
motif manusia dan kesempatan yang disediakan oleh lingkungan (Atkinson, 1983).
Teori Maslow
mendorong penelitian-penelitian lebih lanjut yang mencoba mengembangkan sebuah
teori tentang motivasi yang memasukkan semua faktor yang mempengaruhi motivasi
ke dalam satu model (Grand Theory of Motivation), misalnya seperti yang diusulkan
oleh Leonard, Beauvais, dan Scholl (1995). Menurut model ini, terdapat 5 faktor
yang merupakan sumber motivasi, yaitu 1)instrumental motivation (reward dan punishment), 2)Intrinsic Process Motivation (kegembiraan, senang,
kenikmatan), 3)Goal Internalization (nilai-nilai
tujuan), 4)Internal Self-Concept yang didasarkan pada
motivasi, dan 5) External Self-Concept yang
didasarkan pada motivasi (Leonard, et.al, 1995).
5. Teori-teori Social Learning
Social
Learning Theory (1954) yang diajukan oleh Julian Rotter menaruh perhatian
pada apa yang dipilih seseorang ketika dihadapkan pada sejumlah alternatif
bagaimana akan bertindak. Untuk menjelaskan pilihan, atau arah tindakan, Rotter
mencoba menggabungkan dua pendekatan utama dalam psikologi, yaitu
pendekatan stimulus-response atau reinforcement dan pendekatan cognitive atau field. Menurut Rotter,
motivasi merupakan fungsi dari expectation dan
nilai reinforcement. Nilai reinforcementmerujuk
pada tingkat preferensi terhadap reinforcement tertentu
(Berliner & Calfee, 1996).
6. Teori Social Cognition
Tokoh dari Social
Cognition Theory adalah Albert Bandura. Melalui berbagai eksperimen Bandura dapat
menunjukkan bahwa penerapan konsekuensi tidak diperlukan agar pembelajaran
terjadi. Pembelajaran dapat terjadi melalui proses sederhana dengan mengamati
aktivitas orang lain. Bandura menyimpulkan penemuannya dalam pola 4 langkah
yang mengkombinasikan pandangan kognitif dan pandangan belajar operan, yaitu 1)Attention, memperhatikan dari lingkungan, 2)Retention, mengingat apa yang pernah dilihat atau
diperoleh, 3)Reproduction, melakukan sesuatu dengan cara meniru dari
apa yang dilihat, 4)Motivation, lingkungan memberikan
konsekuensi yang mengubah kemungkinan perilaku yang akan muncul lagi (reinforcement and punishment)
(Huitt, 2004).
C. Teori
Curiosity Berlyne
Pada tahun 1960
Berlyne mengemukakan sebuah Teori tentang Curiosity atau rasa
ingin tahu. Menurut Berlyne, ketidakpastian muncul ketika kita mengalami
sesuatu yang baru, mengejutkan, tidak layak, atau kompleks. Ini akan
menimbulkan rangsangan yang tinggi dalam sistem syaraf pusat kita. Respon
manusia ketika menghadapi suatu ketidakpastian inilah yang disebut dengan curiosity atau rasa ingin tahu. Curiosity
akan mengarahkan manusia kepada perilaku yang berusaha mengurangi
ketidakpastian (Gagne, 1985).
Dalam pembelajaran
Sains, ketika guru melakukan demonstrasi suatu eksperimen yang memberikan hasil
yang tidak terduga, hal ini akan menimbulkan konflik konseptual dalam diri
siswa, dan ini akan memotivasi siswa untuk mengerti mengapa hasil eksperimen
tersebut berbeda dengan apa yang dipikirkannya. Dengan demikian, keadaan
ketidakpastian yang diciptakan oleh guru telah menimbulkan curiosity siswa, dan siswa akan termotivasi untuk
mengurangi ketidakpastian dalam dirinya tersebut. Dapat disimpulkan bahwa curiosity merupakan hal penting dalam meningkatkan
motivasi. Sejarah juga membuktikan bahwa curiosity memiliki
banyak peran dalam kehidupan para penemu (inventor), ilmuwan,
artis, dan orang-orang yang kreatif.
Salah satu metode
pembelajaran yang melibatkan curiosity siswa adalah inquiry teaching. Dalam metode ini, siswa lebih banyak
ditanya daripada diberikan jawaban. Dengan mengajukan pertanyaan, bukan hanya
pernyataan-pernyataan, curiosity siswa akan meningkat karena siswa mengalami
ketidakpastian terhadap jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut (Gagne, 1985).
B.
TINGKATAN INQUIRY
Ada tiga tingkatan inkuiri
berdasarkan variasi bentuk keterlibatannya dan intensistas keterlibatan siswa,
yaitu:
a. Inkuiri tingkat pertama
Inkuiri tingkat pertama merupakan
kegiatan inkuiri di mana masalah dikemukakan oleh guru atau bersumber dari buku
teks kemudian siswa bekerja untuk menemukan jawaban terhadap masalah tersebut
di bawah bimbingan yang intensif dari guru. Inkuiri tipe ini, tergolong
kategori inkuiri terbimbing ( guided Inquiry ) menurut kriteria Bonnstetter, (2000);
Marten-Hansen, (2002), dan Oliver-Hoyo, et al (2004). Sedangkan Orlich, et al
(1998) menyebutnya sebagai pembelajaran penemuan (discovery learning) karena
siswa dibimbing secara hati-hati untuk menemukan jawaban terhadap masalah yang
dihadapkan kepadanya.
Dalam inkuiri terbimbing kegiatan
belajar harus dikelola dengan baik oleh guru dan luaran pembelajaran sudah
dapat diprediksikan sejak awal. Inkuiri jenis ini cocok untuk diterapkan dalam
pembelajaran mengenai konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang mendasar dalam
bidang ilmu tertentu. Orlich, et al (1998) menyatakan ada beberapa
karakteristik dari inkuiri terbimbing yang perlu diperhatikan yaitu: (1) siswa
mengembangkan kemampuan berpikir melalui observasi spesifik hingga membuat
inferensi atau generalisasi, (2) sasarannya adalah mempelajari proses mengamati
kejadian atau obyek kemudian menyusun generalisasi yang sesuai, (3) guru
mengontrol bagian tertentu dari pembelajaran misalnya kejadian, data, materi
dan berperan sebagai pemimpin kelas, (4) tiap-tiap siswa berusaha untuk
membangun pola yang bermakna berdasarkan hasil observasi di dalam kelas, (5)
kelas diharapkan berfungsi sebagai laboratorium pembelajaran, (6) biasanya
sejumlah generalisasi tertentu akan diperoleh dari siswa, (7) guru memotivasi semua
siswa untuk mengkomunikasikan hasil generalisasinya sehingga dapat dimanfaatkan
oleh seluruh siswa dalam kelas.
b. Inkuiri Bebas
Inkuiri tingkat kedua dan ketiga
menurut Callahan et al , (1992) dan Bonnstetter, (2000) dapat dikategorikan
sebagai inkuiri bebas (unguided Inquiry) menurut definisi Orlich, et al (1998).
Dalam inkuiri bebas, siswa difasilitasi untuk dapat mengidentifikasi masalah
dan merancang proses penyelidikan. Siswa dimotivasi untuk mengemukakan
gagasannya dan merancang cara untuk menguji gagasan tersebut. Untuk itu siswa
diberi motivasi untuk melatih keterampilan berpikir kritis seperti mencari
informasi, menganalisis argumen dan data, membangun dan mensintesis ide-ide
baru, memanfaatkan ide-ide awalnya untuk memecahkan masalah serta
menggeneralisasikan data. Guru berperan dalam mengarahkan siswa untuk membuat
kesimpulan tentatif yang menjadikan kegiatan belajar lebih menyerupai kegiatan
penelitian seperti yang biasa dilakukan oleh para ahli. Beberapa karakteristik
yang menandai kegiatan inkuiri bebas ialah: (1) siswa mengembangkan
kemampuannya dalam melakukan observasi khusus untuk membuat inferensi, (2)
sasaran belajar adalah proses pengamatan kejadian, obyek dan data yang kemudian
mengarahkan pada perangkat generalisasi yang sesuai, (3) guru hanya mengontrol
ketersediaan materi dan menyarankan materi inisiasi, (4) dari materi yang
tersedia siswa mengajukan pertanyaan-pertanyaan tanpa bimbingan guru, (5)
ketersediaan materi di dalam kelas menjadi penting agar kelas dapat berfungsi
sebagai laboratorium, (6) kebermaknaan didapatkan oleh siswa melalui observasi
dan inferensi serta melalui interaksi dengan siswa lain, (7) guru tidak
membatasi generalisasi yang dibuat oleh siswa, dan (8) guru mendorong siswa
untuk mengkomunikasikan generalisasi yang dibuat sehingga dapat bermanfaat bagi
semua siswa dalam kelas.
1.
C. Langkah-langkah
pembelajaran dalam inkuiri
Langkah pembelajaran inkuri,
merupakan suatu siklus yang dimulai dari:
1. Observasi atau
pengamatan terhadap berbagai fenomena alam
2. Mengajukan
pertanyaan tentang fenomena yang dihadapi
3. Mengajukan dugaan
atau kemungkinan jawaban
4. Mengumpulkan data
yang terkait dengan pertanyaan yang diajukan
5. Merumuskan
kesimpulan-kesimpulan berdasarkan data.
1.
D. Sasaran
Pembelajaran inkuiri
Sasaran pembelajaran yang dapat
dicapai dengan penerapan inkuiri adalah:
Sasaran kognitif
1. Memahami bidang
khusus dari materi pelajaran
2. Mengembangkan keterampilan
proses sains
3. Mengembangkan
kemampuan bertanya, memecahkan masalah dan melakukan percobaan
4. Menerapkan
pengetahuan dalam situasi baru yang berbeda.
5. Mengevaluasi dan
mensintesis informasi, ide dan masalah baru
6. Memperkuat
keterampilan berpikir kritis
Sasaran afektif
1. Mengembangkan minat
terhadap pelajaran dan bidang ilmu
2. Memperoleh
apresiasi untuk pertimbangan moral dan etika yang relevan dengan bidang ilmu
tertentu.
3. Meningkatkan
intelektual dan integritas
4. Mendapatkan
kemampuan untuk belajar dan menerapkan materi pengetahuan.
Pendekatan discovery merupakan
pendekatan mengajar yang memerlukan proses mental, seperti mengamati, mengukur,
menggolongkan, menduga, men-jelaskan, dan mengambil kesimpulan.
Pada kegiatan discovery guru hanya
memberikan masalah dan siswa disuruh memecahkan masalah melalui percobaan. Pada
pendekatan inquiry, siswa mengajukan masalah sendiri sesuai dengan pengarahan
guru. Keterampilan mental yang dituntut lebih tinggi dari discovery antara
lain: merancang dan melakukan percobaan, mengumpulkan dan menganalisis data,
dan mengambil kesimpulan.
Pendekatan inquiry adalah pendekatan
mengajar di mana siswa merumuskan masalah, mendesain eksperimen, mengumpulkan
dan menganalisis data sampai mengambil keputusan sendiri.
Pendekatan inquiry harus memenuhi
empat kriteria ialah kejelasan, kesesuaian ketepatan dan kerumitannya. Setelah
guru mengundang siswa untuk mengajukan masalah yang erat hubungannya dengan
pokok bahasan yang akan diajarkan, siswa akan terlibat dalam kegiatan inquiry
dengan melalui 5 fase ialah:
Fase 1 : Siswa menghadapi masalah yang dianggap
oleh siswa memberikan tantangan untuk diteliti.
Fase 2 : Siswa melakukan pengumpulan data untuk
menguji kondisi, sifat khusus dari objek teliti dan pengujian terhadap situasi
masalah yang dihadapi.
Fase 3 : siswa
mengumpulkan data untuk memisahkan variabel yang relevan, berhipotesis dan
bereksperimen untuk menguji hipotesis sehingga diperoleh hubungan sebab akibat.
Fase 4 : merumuskan penemuan inquiry hingga
diperoleh penjelasan, pernyataan, atau prinsip yang lebih formal.
Fase 5 : melakukan analisis terhadap proses inquiry,
strategi yang dilakukan oleh guru maupun siswa. Analisis diperlukan untuk
membantu siswa terarah pada mencari sebab akibat.
0 komentar:
Posting Komentar