Jakarta, Penyalahgunaan candu atau madat pada generasi masa kini sudah sangat memprihatinkan. Meski ribuan pelaku dan pemakai sudah banyak dipenjara, tapi pemakai baru terus bermunculan. Sejak kapan sebenarnya orang Indonesia kenal madat dan siapa yang mengenalkannya?
Madat yang melemahkan orang ternyata sudah dipakai di masa kolonialisasi Belanda. Banyak yang tidak tahu bahwa candu telah lama dilegalisasi di Nusantara oleh pemerintah Hindia Belanda sejak 1745 dengan terbentuknya sebuah yayasan bernama Societeit van den Amphioen Handel. Amfiun dalam bahasa Belanda adalah candu. Yayasan ini khusus bergerak dalam perdagangan candu.
Dalam buku 'Seks dan Kekerasan pada Zaman Kolonial' karangan Capt.RP.Suyono seperti dikutip detikHealth Rabu (6/6/2012), dijelaskan bahwa jauh sebelum yayasan candu itu dilegalkan, penduduk Nusantara sebenarnya telah diracuni dengan candu. Tujuannya untuk melemahkan rakyat agar tidak melawan dan melemahkan tentara-tentara kerajaan di Nusantara sehingga kerajaannya lebih mudah direbut.
Sisa-sisa legalisasi Yayasan Candu Societeit van den Amphioen Handel ini adalah digunakannya nama ampiun untuk sebuah jalan. Di daerah Petojo Jakarta misalnya, pernah ada satu jalan bernama Gang Ampiun. Candu atau ampiun yang dijual Belanda secara bebas kala itu didatangkan dari Benggala India. Pembelian dan pengangkutan candu waktu itu menjadi tanggungjawab VOC.
Foto-foto di masa itu yang sempat terpotret menunjukkan bagaimana pembiaran penggunaan candu oleh pemerintah Hindia Belanda. Terlihat rakyat pribumi dari kalangan bawah hingga yang berwajah indo ketagihan candu. Dalam sebuah foto terdapat 2 pemuda, satu orang tua dan satu anak-anak sedang merubuti candu. 2 pemudanya menghisap candu dengan bong yang terbuat dari bambu.
Semua orang di zaman itu bebas membeli candu. Bahkan saking tingginya permintaan akan candu dari masyarakat, pemerintah Hindia Belanda akhirnya membuat pabrik madat pertama yang didirikan tahun 1894 di daerah Struiswijk (Gang Tengah, Jakarta) dan di Meester Cornelis (Jatinegara Jakarta). Tapi dalam waktu singkat, kedua pabrik madat ini juga kewalahan memenuhi kebutuhan candu hisap di Nusantara.
Maka itu dibuatlah pabrik candu moderen pada tahun 1901 di daerah Kramat Jakarta pada tahun 1901. Lengkap dengan jalur kereta apinya untuk membawa berton-ton candu mentah dari pelabuhan ke pabrik tersebut. Bekas pabrik candu moderen pertama di Jakarta itu sekarang digunakan menjadi kampus Universitas Indonesia yang teletak di Jalan Salemba.
Candu-candu itu telah membawa keuntungan bagi pemerintah Hindia Belanda meskipun tidak dimuat dalam neraca perdagangan ekspor yang resmi. Keuntungan di Neraca Perdagangan seolah-olah hanya didapat langsung dari penjualan produk-produk Nusantara seperti kopi, gula, timah dan lainnya.
Hasil keuntungan dari penjualan candu itu digunakan pemerintah Hindia Belanda untuk pengeluaran-pengeluaran tidak resmi seperti menyogok para Raja dan penguasa pribumi dan juga untuk ongkos operasi peperangan yang tidak dimasukkan dalam neraca pendapatan dan pengeluaran pemerintah Hindia Belanda.
Keuntungan yang diperoleh pemerintah Hindia Belanda dengan menjual candu itu tentunya dengan pengorbanan orang-orang di Nusantara terutama di Jawa yang terseret dalam kebiasaan mengisap candu yang melemahkan otak dan fisik. Bahkan candu adalah penyebab peperangan antara Kerajaan Lombok dengan Hindia Belanda, karena bersaing dalam penjualan candu.
Serdadu Candu
Saat diserang pasukan Hindia Belanda tahun 1905, para prajurit di Kerajaan Bone Sulawesi Selatan tidak melakukan balasan tembakan. Pasukan Hindia Belanda hanya butuh beberapa jam untuk merebut kerajaan karena tentara kerajaannya mundur. Daya perang tentara kerajaan merosot akibat kegemaran menghisap candu.
Diceritakan ketika benteng diserang, para prajurit Bone hanya duduk termenung dan memandang ke depan tanpa ekspresi.
Sementara berita di majalah Militaire Gids terbitan tahun 1913 menuliskan bahwa 60 persen dari para Bintara orang Jawa adalah penghisap candu. Candu dijual secara sembunyi-sembunyi di asrama yang membuat para serdadu muda itu itu berubah menjadi serdadu penghisap candu.
Di asrama tentara juga biasanya disediakan bilik-bilik bagi istri prajurit untuk menghisap candu. Tapi para istri prajurit itu lebih suka menikmati candu di kamarnya masing-masing.
Kini setelah terbebas dari penjajahan, ternyata generasi bangsa ini masih banyak yang terjajah candu. Mirisnya lagi, korbannya adalah selalu anak-anak muda yang harusnya menjadi penerus bangsa.
1 komentar:
candu di zaman sekarang lebih beragam tapi hasilnya sama APATISME pada kondisi yg berujung bangsa kita sulit maju.
Posting Komentar